Aku Malu Kalau Tidak Punya Malu

“Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan … Di negeriku, dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa … Di negeriku, budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi…”

(Taufiq Ismail, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia)

Malu Sebagian dari Iman

Malu Sebagian dari Iman

Di atas merupakan penggalan sajak puisi Taufiq Ismail yang dibuat tahun 1998. Sajak ini pun masih relevan. Kita masih bisa berkata, dengan pelan, merunduk, badan ditekuk, dan penuh malu “Aku malu jadi orang orang Indonesia.” Tidak hanya persoalana aku dan engkau saja. Ini persoalan kita, Bung. Malu sudah menjadi emosi kolektif bangsa dan sudah seharusnya kita malu.

Rasa malu dianggap tidak baik secara moral karena memicu emosi marah dan agresivitas (Teroni&Bruun, 2011). Lebih jauh lagi, Teroni menjelaskan bahwa rasa malu lebih berorientasi pada diri sendiri. Menurut Janz (2011) malu menjadikan individu diam tanpa kemajuan, tidak dapat mengambil keputusan.

Chilton (2012) memaparkan terdapat tiga penyebab dari perasaan malu, (1) sebagai kesadaran diri berupa pembandingan diri dengan orang lain, (2) peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kondisi lingkungan sosial individu, (3) berupa identitas kelompok masyarakat sebagai produk nilai-nilai budaya masyarakat.

Selanjutnya Chilton menjelaskan mengenai proses-proses perilaku dan kognitif selama rasa malu muncul yaitu (1) membuat jarak antara diri dan sekitar, (2) mengevaluasi diri secara negatif, merasa tidak cukup baik, merasa terasing, merasa telah berbuat salah terus-menerus. Di akhir, individu akan cenderung meyerang orang lain baik secara verbal maupun fisik dan menghindari orang lain.

Dari paparan di atas, rasa malu terasa sangat buruk dan merugikan. Ditegaskan kembali oleh Teroni&Bruun (2011) bahwa perasaan malu akut merupakan salah satu gejala depersi. Namun, hal ini harus dipisahkan antara malu yang bersifat episodik atau sementara, dengan malu yang menjadi kepribadian laten individu.

Khawatirnya, rasa malu malah muncul dalam bentuk luapan emosi berlebih. Rasa malu dijadikan alasan rutin untuk menolak satu ajang pembelajaran yang sedikit banyak mengharuskan kita membuktikan diri di depan publik.
Bandingkan dengan rasa malu yang dialami individu setelah membandingkan perkembangan diri dan sekitar. Setelah merasa bahwa kita masih terlalu banyak bersantai, terlalu banyak pekerjaan yang kita ditunda, dan ada banyak ketidaktepatan waktu yang kita timbulkan, bukankah kita harus merasa malu pada diri sendiri? Rasa malu memang terkadang tidak terlihat dan tidak diketahui oleh orang lain (Janz, 2011). Dengan rasa malu, kita menjadi ‘sesuatu’ yang utuh, bernama manusia.

Riwayat hadits Bukhari, دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ, yang artinya, “Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.” Lewat teladan Rasulullah SAW ini, beliau mengajarkan bahwa rasa malu tidak seharusnya dihilangkan dari sifat-sifat manusia. Ibnu Qutaibah menambahkan penjelasan bahwa dengan malu, diri akan lebih terjaga dari perbuatan tidak terpuji.

Bagaimana bisa kita melarang diri ataupun orang lain untuk memiliki sifat malu apabila Nabi Muhammad SAW sesuai dengan yang diriwayatkan adalah orang yang pemalu. “Rasulullah SAW adalah seorang yang pemalu dan lebih malu daripada seorang perawan yang dipingit di kamarnya,” riwayat hadits Bukhari.
Masihkah kita berani untuk menghilangkan sifat malu dari kepribadian kita apabila Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki etika (akhlak), sedangkan akhlak Islam adalah rasa malu.” Masih ingin bermain-main dengan rasa malu?

Tinggalkan komentar